PARADIGMA PIKIR PENENTU MASA DEPAN
by ; Al HadiParadigma adalah suatu respon akal , naluri diri, hal ini bisa menghasilkan suatu sugest dalam diri. sugest ini bisa positif bisa juga negatif, tergantung kita dalam mengolah nya. ketika ini menghasilkan dorongan positif hal ini akan berbuah semangat untuk sukses, bermanfaat, paradigma pikir inilah yang seakan hilang dalam kehidupan kita, sehingga dalam melakukan suatu perjuangan banyak diantara kita berputus asa.
Bila kita mengubah pikiran kita, kita mengubah keyakinan diri kita, Bila kita mengubah keyakinan diri kita, kita mengubah harapan-harapan kita, Bila kita mengubah harapan-harapan kita, kita Mengubah sikap kita, Bila kita mengubah Sikap kita, kita akan mengubah Tingkah Laku kita, Bila kita mengubah Tingkah Laku kita, kita Mengubah Kinerja kita Bila kita mengubah Kinerja kita, kita telah mengubah Nasib kita, Bila kita mengubah Nasib kita, kita telah mengubah Hidup kita.
Pola pikir kita (kadang-kadang disebut paradigma kita) adalah jumlah total keyakinan, nilai, identitas, harapan, sikap, kebiasaan, keputusan, pendapat dan pola-pola pemikiran kita tentang diri kita sendiri, orang lain dan bagaimana kehidupan bekerja. Ini adalah saringan yang dengannya kita menafsirkan apa yang kita lihat dan alami. Pola pikir Anda membentuk kehidupan Anda dan menarik kepada diri Anda hasil-hasil yang merupakan refleksi pasti pola pikir itu. Apa yang Anda percaya akan terjadi, benar-benar terjadi.
Menurut Thomas Kuhn
Pada tahun 1962, Thomas Kuhn menulis Struktur Revolusi Ilmiah, dan ayah, didefinisikan dan mempopulerkan konsep “pergeseran paradigma” (hal.10). Kuhn berpendapat bahwa kemajuan ilmiah tidak evolusioner, melainkan adalah “serangkaian selingan damai diselingi oleh intelektual revolusi kekerasan”, dan dalam revolusi “satu pandangan dunia konseptual digantikan oleh yang lain”.
Pikirkan Pergeseran Paradigma sebagai perubahan dari satu cara berpikir yang lain. Ini sebuah revolusi, suatu transformasi, semacam metamorfosis. Hanya saja tidak terjadi, tapi lebih didorong oleh agen perubahan. Sebagai contoh, pertanian mengubah masyarakat primitif awal. Indian primitif ada selama berabad-abad jelajah bumi terus berburu dan mengumpulkan makanan musiman dan air. Namun, pada tahun 2000 SM, Amerika Tengah adalah pemandangan desa yang sangat kecil, masing-masing dikelilingi oleh ladang jagung merata dan sayuran lainnya.
Agen perubahan membantu menciptakan pergeseran paradigma-teori ilmiah yang bergerak dari sistem Ptolemeus (bumi di pusat alam semesta) ke sistem Copernican (matahari di pusat alam semesta), dan bergerak dari fisika Newton ke Relativitas dan Quantum fisika. Kedua gerakan akhirnya mengubah pandangan dunia. Transformasi-transformasi ini adalah bertahap sebagai keyakinan lama digantikan oleh paradigma baru menciptakan “suatu gestalt baru” (hal. 112).
Demikian juga, mesin cetak, pembuatan buku dan penggunaan bahasa vernakular tak terelakkan mengubah budaya suatu bangsa dan memiliki mempengaruhi langsung terhadap revolusi ilmiah. Penemuan Johann Gutenberg di 1440 dari movable type adalah agen perubahan. Buku menjadi tersedia, lebih kecil dan lebih mudah untuk menangani dan murah untuk membeli. Massa rakyat memperoleh akses langsung ke scriputures. Sikap mulai berubah ketika orang merasa lega dari dominasi gereja.
Demikian pula, agen perubahan mengemudi pergeseran paradigma baru hari ini. Tanda-tanda ada di sekitar kita. Sebagai contoh, pengenalan komputer pribadi dan internet berdampak baik pribadi dan lingkungan bisnis, dan merupakan katalis bagi Pergeseran Paradigma. Penerbitan surat kabar telah dibentuk kembali ke situs web, blogging, dan web feed. Internet telah diaktifkan atau mempercepat penciptaan bentuk-bentuk baru interaksi manusia melalui instant messaging, Internet forum, dan situs jejaring sosial. Kami telah bergeser dari mekanistik, manufaktur, masyarakat industri ke, layanan berbasis organik, masyarakat informasi terpusat, dan peningkatan teknologi akan terus berdampak global. Perubahan tidak bisa dihindari. Ini adalah konstan hanya benar.
Menurut M. Abid al-Jabiri, secara historis hanya ada 3 peradaban atau bangsa yang memiliki tradisi berpikir logic yang cukup kuat, yaitu Yunani (hellenism), Arab dan Barat Modern. Sementara bangsa-bangsa lainnya, seperti Persia, India, Tiongkok dan sebagainya dianggap/dikenal sebagai peradaban yang mengembangkan tradisi mystic (al-Jabiri, 1991). Kejayaan dan keruntuhan masing-masing peradaban telah terjadi silih berganti. Ketika yang satu mengalami kepunahan, segera akan diwarisi dan diambil alih oleh bangsa lain dengan peradaban yang baru lagi. Setiap peradaban yang berjaya era itu tentu juga membawa paradigmanya yang sekaligus mendominasi bangsa-bangsa lainnya.
Apa yang dimaksudkan sebagai paradigma adalah mode of thought yang mendasari keseluruhan hidup seseorang, masyarakat atau suatu bangsa. Kalau kita mau mengakui secara jujur, sesungguhnya sistem global yang mendominasi masyarakat dunia di abad modern saat ini adalah sistem yang lahir dan mengkristal dari paradigma filsafat Barat Modern. Menurut Nurcholish Madjid (1995), dengan tibanya zaman ini, umat manusia tidak lagi dihadapkan pada persoalan lokal kultural secara terpisah dan berkembang secara otonom dari yang lain, tetapi terdorong untuk membaur ke dalam masyarakat jagad (global).
Karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat, maka modernisasi sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini bangsa Barat), tidak mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol. Jadi, bangsa-bangsa bukan Barat pada permulaan proses perkembangannya terpaksa harus menerima paradigma modernitas Barat. Hal ini disebabkan karena adanya sistem global, yang di dalamnya terdapat sistem-sistem kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan, yang saling kait-mengkait dan mempengaruhi satu sama lain; dan semuanya terpola menuju terbentuknya masyarakat jagad (global society).
Umat Islam sendiri dalam merespons modernitas atau modernisasi yang semakin menggurita di atas paradigma pemikiran Barat ini terpecah ke dalam beberapa pola pemikiran dan kecenderungan. Pertama, kecende- rungan kepada aliran-aliran pemikiran baru yang bersifat teologis, yang kemudian mengkristal menjadi aliran-aliran fundamentalisme, messianisme, modernisme dan tradisionalisme, yang seperti yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh, Sayyed Hossein Nasr, dan lain-lain. Kedua, kecenderungan pada pemikiran Islam yang bersifat historis, yaitu usaha membongkar (dekonstruksi) pemikiran klasik dan membangunnya kembali (rekonstruksi) dengan berbagai pendekatan filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern (sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi, linguistik/semiotika, dsb.) atau yang lebih dikenal dengan istilah proyek teoretisasi pemikiran Islam, seperti yang digeluti oleh Mohammad Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Abid al- Jabiri dan lainnya. Ketiga, kecenderungan untuk melakukan islamisasi pengetahuan modern (islamization of knowledge), seperti yang telah dikembangkan oleh Ismail Razi al-Faruqi, Abu Baker A. Bagadeer, Ziauddin Sardar dan kawan-kawan (M. Amin Abdullah, 1996).
Sebagai agama, Islam masih hidup dan bertahan, tetapi peradaban dengan seluruh sistemnya telah surut dan tersingkir dari berbagai arah selama beberapa abad. Struktur sosial dunia Islam, termasuk institusi- institusi politik, ekonomi dan budaya menghadapi tekanan sangat kuat, karena dirusak atau ditransformasikan oleh dominasi peradaban Barat modern. Dengan dominasi sistem global peradaban Barat tersebut dan laju modernisasi, lalu timbullah berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam (S.H. Nasr, 1995).
Abad modern, dengan segala prediketnya: abad ilmu, abad teknologi, abad komputerisasi, abad informasi, dengan paradigma pemikiran Barat yang mendasarinya sama sekali bukanlah rahmat. Bagi masyarakat Barat, ia telah menghasilkan sejumlah besar problem, yang pemecahan terhadapnya terbukti tumpul. Bagi dunia Muslim, revolusi informasi menghadirkan tantangan-tantangan khusus yang harus diatasi demi kelangsungan hidup fisik maupun budaya umat. Tidak jarang tantangan-tantangan itu merupakan dilema utama: haruskah negeri-negeri Muslim menganut suatu teknologi yang kompulsif dan totaliter, dengan resiko timbulnya tipe kebergantungan baru yang lebih subversif serta menghancurkan; atau haruskah mereka melestarikan sumber daya mereka yang langka dan bernilai dan mengabaikan perkembangan-perkembangan teknologi informasi, dengan resiko menyerahkan kendali atas nasib mereka sendiri kepada tangan- tangan Barat? (Z. Sardar, 1992)
Tiga aspek pada diri manusia yang memerlukan pembinaan terus menerus, yaitu fisik (materiil), intelektual dan spiritual. Keutuhan jati diri manusia diukur dari ketiga aspek tersebut. Jika mereka mengalami kekurangan atau mengabaikan salah satu dari tiga aspek tersebut, maka artinya mereka mulai mengalami dehumanisasi (kehilangan nilai-nilai kemanusiaan). Menurut istilah al-Qur’an mereka dikatakan lafi khusrin, asfala safilin, kal-an’am dan sebagainya. Manusia yang utuh (seutuhnya) itulah yang dimaksud dengan insan kamil, yaitu mereka yang bisa mengembangkan 3 aspek kemanusiaannya tersebut secara seimbang, mengetahui di mana mereka harus berpijak.
Paradigma berpikir yang dikembangkan Barat saat ini, menurut Muhammad Arkoun (1994), telah gagal membimbing cita-cita humanisme umat manusia. Modernisasi di Barat cenderung mengarah kepada terbentuknya masyarakat sekuler. Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa modernisme dan modernisasi hanya akan menciptakan secular city; ia adalah lonceng kematian bagi agama. Menurut teori ini, semakin modern suatu masyarakat, semakin jauh pula mereka dari agama; agama diprediksikan tidak akan pernah bangkit lagi dalam arus modernisasi dan sekularisasi yang tidak terbendung. Dengan kata lain, modernisme di samping sangat mengagulkan kemajuan materiil dan intelektual, juga punya kecenderungan kuat untuk menghilangkan atau mematikan spiritualitas.
Sejalan dengan pendapat Cox tersebut adalah teori Sigmund Freud tentang agama. Dengan teori psikoanalisisnya, Freud mengatakan bahwa saat ini bukan lagi masa agama. Masa agama sebenarnya adalah the childhood of man dalam tulisannya yang berjudul an illusion, di mana menurutnya masa anak-anak adalah masa khayal, masa yang penuh dengan ilusi karena ketidak-mampuan manusia dalam memahami hakikat alam lingkungannya (Daniel L. Pals, 1996). Seperti juga dikatakan oleh Peter L. Berger (1967), seorang sosiolog agama, bahwa sikap sekularis seringkali timbul sehubungan dengan penolakan terhadap campur tangan aturan- aturan agama.
Jadi paradigma pemikiran Islam sebenarnya harus diorientasikan untuk membangun manusia seutuhnya (insan kamil). Manusia seutuhnya ini — dalam aktualisasinya– diberi prediket muttaqin, yaitu orang-orang yang senantiasa menyerahkan diri kepada Allah dan melakukan kebajikan- kebajikan di dunia, baik secara individual maupun sosial (QS. 2 : 2-5) dan dalam paradigma berpikirnya diberi prediket ulul albab, yaitu orang-orang yang senantiasa hanya menggantungkan dan menautkan hatinya kepada Allah dalam keadaan apapun dan senantiasa menggunakan atau mengoptimalkan akal pikirannya untuk menggali ilmu pengetahuan yang dapat membangkitkan kesadaran ilahiyah (QS. 3 : 190-191). Allah mengajarkan umat Islam untuk membangun paradigmanya melalui al-Qur’an.
Al-Qur’an memberikan teladan masa lalu dan proyeksi masa depan. Al- Qur’an memberikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip nilai yang bersifat transformatif dan reformatif. Makna transformatif dan reformatif tersebut tercermin dalam konsep al-Qur’an tentang masyarakat yang moderat/ ummatan wasathan (QS. 2 : 143), yang harus selalu menjadi saksi (syuhada) bagi umat manusia seluruhnya. Al-Qur’an mengajarkan kepada kita banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang harus dijalankan. Syarat utama dalam hal ini adalah bahwa kita harus selalu menggunakan hati nurani dan akal pikiran dalam pola berpikir, bersikap dan bertindak. Hati dan akallah yang harus mengendalikan pandangan hidup kita. Hati dan akal hanya boleh pasrah dan tunduk kepada petunjuk Allah, baik yang tekstual maupun kontekstual, baik qur’aniyah maupun kauniyah; sama sekali tidak boleh ditundukkan atau dikendalikan oleh hawa nafsu.